Ganggang Biru-Hijau Vs Kanker Nasofaring

Trubus

Edisi: Senin, 04 September 2006 08:14:18

Ganggang Biru-Hijau Vs Kanker Nasofaring

Sepulang berkemah di kawasan Puncak, Cianjur, Tono-nama samaran-didera nyeri kepala berkepanjangan. Beberapa butir obat penghilang pusing ditelan, tapi nyeri itu seolah ajek. Kejadian 4 tahun silam itu diikuti munculnya benjolan sebesar telur puyuh di leher. Lita-sang ibunda-yang takut terjadi sesuatu segera membawanya ke Rumah Sakit Pluit di Jakarta Utara. Di sana dokter memvonis anak saya kena kanker nasofaring, tutur Lita.

Kabar mengejutkan itu sontak membuat semua persendian Lita terasa lemas. Ia benar-benar tak menduga anak sulungnya didera kanker. Ketika itu saya hanya bisa diam dan menangis. Saya merasa kasihan, ujar Lita. Saat palu vonis itu diketuk, Tono baru saja merayakan kelulusannya dari Sekolah Menengah Pertama. Ia memang mengisi waktu liburan dengan berkemah sambil menunggu pengumuman penerimaan dari sebuah Sekolah Menengah Atas di kawasan Jakarta Barat.

Benjolan itu tidak sengaja didapati. Rambut Tono yang panjang sebahu membuat benjolan itu tertutup. Herannya dia sendiri tidak merasa ada benjolan itu, ujar Lita. Maklum dengan bobot sekitar 80 kg, leher Tono tampak penuh lipatan kulit. Benjolan itu tampak setelah sang ayah mencukur rambutnya. Lo kok ini ada benjolan, ujar sang ayah seperti dituturkan Lita.

Saran dokter untuk melakukan biopsi-pemeriksaan jaringan hidup-membuat Lita ketakutan. Saya sering dengar biopsi menyebabkan kanker menyebar dan lebih ganas, ujarnya. Merasa tak puas, kelahiran Bangka-Belitung 45 tahun lalu itu mengecek Tono ke RS PGI Cikini di Jakarta Pusat. Kesimpulan sementara sama, perlu dilakukan biopsi.

Melalui bantuan kerabat dekat, Lita pun mengunjungi dokter spesialis kanker di bilangan Rawamangun. Setelah di CT Scan, dokter hanya bilang anak saya memang terkena kanker nasofaring stadium 1, ujarnya. Lita pun kembali dirujuk melakukan biopsi di RS Kanker Dharmais di Jakarta Barat.

Pengobatan alternatif

Pilihan biopsi sangat tidak diinginkan Lita. Setelah berembug bersama suami, Lita mencoba mencari pengobatan alternatif. Saya mendengar ada yang bisa menyembuhkan dengan pijitan di Sukabumi, ujar Lita. Tanpa pikir panjang, ia pun membawa Tono yang masih bisa beraktivitas normal ke sana. Sebulan pengobatan berjalan, hasilnya nihil. Benjolan itu malah tampak sedikit membesar.

Sebagai gantinya pengobatan herbal dipilih. Seorang pengobat di Kelapagading, Jakarta Utara, dikunjungi. Menurut sang pengobat, Tono harus meminum berbagai ramuan herbal. Salah satu di antaranya benalu teh. Sebungkus benalu itu dicuci bersh lalu direbus dalam 3 gelas air hingga mendidih dan tersisa segelas. Setelah dingin, air rebusan disaring untuk diminum 3 kali sehari masing-masing 1 gelas. Setelah 2 minggu mengkonsumsi belum ada perubahan, malah batuk darah dan mimisan, ujar Lita.

Tak kunjung membaik, dokter spesialis kanker di Rawamangun didatangi kembali. Kini apa pun yang disarankan dokter itu diterima. Dokter menyuruh ke Dharmais untuk menjalani terapi pengobatan, ujar Lita. Di sana Tono mesti menjalani kombinasi pengobatan dengan penyinaran dan kemoterapi. Katanya perlu 32 kali penyinaran sampai sembuh, ujar Lita.

Perubahan terjadi saat menjalani penyinaran ke-15. Tiba-tiba Tono didera rasa sakit yang amat sangat di pinggang. Tak tega melihat kondisi itu, Lita pun meminta dokter memberi obat penghilang rasa sakit. Obat itu diberikan lewat mulut dan dubur. Ia hanya efektif selama 12 jam setiap kali pemberian, tutur Lita.

Rasa sakit Tono membuat dokter curiga. Lita pun disarankan memeriksa Tono kembali. Hasilnya memang mengejutkan. Kanker itu sudah menyebar sampai pinggang. Dokter memutuskan Tono perlu menjalani 14 kali penyinaran lagi di bagian pinggang.

Saat itu kondisi Tono sudah jauh menurun. Bobotnya menyusut 30 kg, kulitnya kusam, dan rambutnya rontok. Air ludahnya kering, wajahnya menghitam, gusinya pecah-pecah sampai keluar darah, dan semua kaki tangannya bengkak, kata Lita.

Minum spirulina

Ketakutan kanker itu menyebar terbukti. Tak hanya di pinggang, tulang ekor pun kini digerogoti kanker. Tono mesti menjalani 17 kali penyinaran lagi. Dokter yang menanganinya mewanti-wanti agar kakak Lita tidak menginformasikan soal harapan umur penderita kanker. Dokter menyebutkan dengan kondisi itu usia Tono diperkirakan tidak sampai 3 bulan lagi, ujar Lita meniru ucapan sang kakak. Sambil terus menjalani terapi penyinaran, Lita meminta izin agar Tono diperbolehkan pulang. Saat itu Lita mengaku pasrah. Saran sepupunya untuk membawa Tono berobat ke Singapura ditolak secara halus. Biarlah saya merawatnya semampu saya, ujar Lita yang saat itu hanya bisa memberi asupan susu formula pada Tono.

Menjelang Natal pada 2002, teman dekat suami memintanya mencoba memberi spirulina. Siapa tahu bisa membuat badan anakmu sedikit kuat, tutur teman itu memberi beberapa sachet spirulina. Kebetulan pula spirulina cair itu berasa stroberi. Anak saya paling suka rasa stroberi jadi agak gampang memberinya, ujar Lita.

Spirulina itu diberikan rutin 3 kali sehari. Awalnya tubuh Tono seakan menolak. Saat diminum, tak lama cairan itu dimuntahkan lagi. Namun setelah mencoba 3 kali, tubuh Tono pun bisa menerima. Dua minggu mengkonsumsi tanda-tanda perubahan mulai terlihat. Kulitnya mulai kelihatan segar. Nafsu makannya timbul lagi, ujar Lita. Hampir 4 bulan rajin mengkonsumsi, kondisi Tono berangsur-angsur membaik. Wajahnya yang tadinya hitam mulai memutih kembali. Yang menggembirakan Lita, Tono sudah bisa berjalan normal meski agak tertatih-tatih. Kakinya masih sedikit bengkak, ujar Lita.

Setahun berlalu, Tono sudah tampak segar bugar. Bobotnya kembali normal seperti sediakala. Ia masih merasa cepat lelah saja, ujar Lita yang hingga kini terus mewajibkan Tono meminum 1 sachet spirulina setiap hari. Sekolahnya dulu sempat berhenti selama setahun sudah diteruskan kembali. Kalau lihat dia sekarang, saya kadang menangis karena tidak menyangka dia bisa membaik, tutur Lita.

Terbanyak ke-4

Merujuk data National Cancer Institute di Amerika Serikat, kanker nasofaring banyak terjadi pada ras Mongoloid yang tersebar di negara-negara Asia seperti Cina, Hongkong, Malaysia, Singapura, bahkan Indonesia. Kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung hingga menyebar ke kelenjar leher dan otak itu bisa diturunkan secara genetis.

Menurut Profesor Dr Karmel L Tambunan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kanker nasofaring kini menjadi salah satu kanker yang banyak penderitanya di tanahair. Penyebabnya diduga virus epstein barr. Virus itu juga ditemukan pada penyakit lain seperti herpes, ujar spesialis darah yang juga mendalami kanker itu. Salah satu pemicunya adalah makanan yang diawetkan dengan garam atau diasapkan.

Dalam paparan mengenai penyakit-penyakit kanker, Dr Gustav Quade dari Institute of Medical Biometry, Informatic and Epidemiology Universitat Bonn di Jerman menyebutkan pada stadium awal serangan kanker nasofaring tidak memberi gejala khas. Yang sering tampak hanya telinga berdenging, hidung mimisan atau tersumbat seperti pilek terusmenerus di salah satu sisi. Bila semakin parah, di leher, misalnya, akan tampak pembesaran getah bening yang terlihat seperti benjolan yang dialami Tono.

Satu-satunya pengobatan kanker yang bisa dilakukan dengan menjalani radioterapi dan kemoterapi, ujar Karmel. Pengobatan yang dilakukan pada Tono itu menurut Karmel sudah tepat. Meski demikian ia belum bisa menduga peran spirulina yang membuat kondisi Tono membaik. Mungkin membantu memperbaiki daya tahan tubuh saja, ujarnya. (Dian Adijaya S)