Olah Spirulina Saat Liliput Berubah Wujud

Trubus

Edisi: Senin, 04 September 2006 08:22:22

Olah Spirulina
Saat Liliput Berubah Wujud

Hamparan jaring peneduh yang melingkupi 2 hektar lahan di Distrik Dong Ying, Provinsi Shandong, RRC Utara, terlihat megah. Di bawahnya tampak kolam-kolam berukuran besar berisi air kehijauan. Dari sanalah serbuk-serbuk spirulina yang tengah dikemas karyawan sebuah pabrik di kawasan Cikarang, Bekasi, berasal. Fenomena itu tak ubahnya di Kepong, Malaysia yang mengemas spirulina kiriman dari Hawaii, Amerika Serikat.

Spirulina yang dipasarkan dalam berbagai kemasan di tanahair memang semuanya impor, antara lain dari Cina, Jepang, India, dan Amerika Serikat. Di Indonesia bukannya tidak ada tempat cocok untuk pengembangbiakan makhluk berukuran mikroskopik itu. Alasan belum ada investor yang memandang spirulina sebagai makanan kesehatan itulah yang paling tepat dikedepankan.

Memang tidak banyak tempat bisa dijadikan ladang pengkulturan spirulina. Jasad liliput itu butuh persyaratan spesifik untuk hidupnya. Selain perairan basa, pH di atas 8,5, tempat itu harus steril dari pencemaran udara, seperti debu dan zat-zat kimia berbahaya. Bahkan menurut Prof Riset I Nyoman Kabinawa, ahli teknologi kultur mikroalga Indonesia, lingkungan pun harus tenang.

Itulah sebabnya Ultra Trend Biotech produsen Spiruplus memilih Dong Ying di Provinsi Shandong, RRC Utara, untuk lokasi budidaya. Kami butuh waktu 1 bulan untuk mengapalkan serbuk spirulina hingga Cikarang, ungkap Billy Gan, presiden direktur Ultra Trend Biotech Indonesia.

Pembudidayaan spirulina juga dilakukan oleh Cyanotech Company di Hawaii, Amerika Serikat, tetapi kondisi tempatnya berbeda. Produsen spirulina yang didistribusikan dengan nama Luxor itu menambang spirulina di lautan bebas. Hampir tak ada perbedaan cara pengolahannya. Sebab, keduanya sama-sama dibudidayakan di aliran air tenang. Berikut pembudidayaan spirulina seperti yang dituturkan Billy Gan dari Ultra Trend Biotech dan Bob Capelli dari Cyanotech Company langsung kepada Trubus.

  1. Kedua perusahaan, Ultra Trend Biotech dan Cyanotech Company membudidayakan jenis Spirulina platensis. Bibit spirulina diperoleh secara kultivasi di laboratorium. Setelah penyeleksian selesai, terpilihlah bibit spirulina terbaik. Bibit itu lantas dimasukkan ke dalam galon masing-masing bervolume 19 liter. Galon itu berisi nutrisi agar ganggang biru-hijau itu tumbuh lebih cepat. Sebab, untuk mengisi seluruh kolam paling tidak dibutuhkan bibit sebanyak 10 galon.
  2. Bibit itu dimasukkan ke dalam kolam perbanyakan. Pemindahan bibit dilakukan pada awal Mei. Pada bulan itu suhu di Dong Ying cukup hangat, 20ÂșC, cocok untuk memulai budidaya. Kolam terbuat dari semen, berukuran tinggi 60 cm, lebar 6 m, dan panjang mencapai 100 m. Kolam ini diisi air tawar sampai ketinggian 30 cm. Air yang digunakan dipompa dari dalam tanah agar kebersihannya terjamin. Beda halnya dengan pembudidayaan spirulina di Cyanotech Company. Sumber air yang digunakan berasal dari dasar laut yang kedalamannya mencapai 6.000 meter. Air itu masih murni dengan kandungan mineral lengkap, kata Bob Capelli.
  3. Setiap kolam dilengkapi pemutar yang digerakkan listrik, dengan kecepatan 3-4 m/detik. Pemutar ini digunakan untuk mengaduk air kolam, sehingga semua bibit spirulina dapat memperoleh sinar matahari. Apabila air tidak diputar, sinar matahari hanya mengenai spirulina di permukaan atas kolam. Setiap hari ditambahkan mineral ke dalam kolam. Unsur-unsur seperti nitrogen, potasium, besi, serta unsur penting lainnya dapat meningkatkan kualitas spirulina.
  4. Musim tanam atau penyebaran bibit spirulina dilakukan pada Mei hingga Oktober. Spirulina sudah bisa dipanen 3-5 hari kemudian. Pemanenan dilakukan setiap hari. Bahkan, saat puncak musim panas, panen spirulina berlangsung setiap jam agar terhindari dari ledakan populasi. Cara panen, air kolam di pompa dan dimasukkan ke penyaring. Lantas spirulina yang tersaring dicuci menggunakan air bersih agar semua kotoran hilang. Setelah bersih, spirulina itu dikeringkan lantaran masih mengandung 80% air. Sedangkan air yang keluar dari saringan dimasukkan kembali ke dalam kolam.
  5. Spirulina yang telah dicuci dimasukkan ke spray drier. Panas yang disemprotkan mesin mengubah bentuk spirulina, dari cairan menjadi bubuk kering. Teknologi lain diaplikasikan Cyanotech. Pengalaman 23 tahun memproduksi spirulina Cyanotech menemukan proses teknologi ocean chill drying. Proses pengeringan beku itu menjamin tidak terjadinya oksidasi terhadap karoten dan asam lemak spirulina. Produk bisa bertahan lebih dari 5 tahun.
  6. Bubuk spirulina dikemas dalam vacuum pack lalu disimpan ke dalam tong terbuat dari kertas. Dari Shandong, Cina, Ultra Trend Biotech mengirimkan 200 tong masing-masing berisi 50 kg bubuk spirulina melalui laut ke Indonesia. Setelah 30 hari perjalanan, sampailah di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Sedangkan Cyanotech mengirimkan bubuk spirulinanya ke Kepong, Kualalumpur, Malaysia.
    Setibanya di pabrik pengemasan, bubuk spirulina langsung masuk ruang penyimpanan berpendingin. Saat akan diolah serbuk berwarna hijau itu baru dikeluarkan. Ada yang memasukkan serbuk itu ke dalam kapsul, ada juga yang dibentuk menjadi tablet. Dalam satu hari, masing-masing perusahaan mampu mencetak 250.000 kapsul dan tablet spirulina. Setelah dikemas dalam botol dan kardus, produk siap dipasarkan ke konsumen di seluruh Indonesia. (Lani Marliani/Peliput: Vina Fitriani)